Senin, 23 Oktober 2017

Jurnalawas - Penyembuhan yang Menyesakan

Baris gedung kota nestapa (Foto: Idris Saripudin)

Terdengar seperti retakan, saat salah satu lempeng bumi bergerak melawan arah. Seperti itu yang aku rasakan, saat menuju hati tapi kau bergerak menjauhi. Bahagiaku hanya sesaat, tapi aku tetap merasa senang. Saat kamu singgah sejenak, entah sebagai tempat peristirahatan atau melampiaskan kesedihan dari kesendirian. Ketika perjuangan disia-siakan, menjauh menjadi sebuah keharusan bukan sebagai pilihan.

Aku lebih butuh balasan dari pada alasanmu, karena memang seperti itulah cara cinta bekerja. Jangan pernah bertanya siapa yang akan kamu cintai nanti, tapi lihat dan rasakan siapa yang membuatmu bahagia dan dihargai itulah orang yang semestinya kamu pilih. Kelak orang yang kamu sia-siakan bisa menjadi orang yang paling kamu nantikan ketika kamu pasrah dalam penantian.

Aku akan bersabar menunggumu, tapi keinginan itu mulai menipis saat kamu mulai meragu. Setiap orang berhak memilih siapa yang akan dia sukai, tapi tidak semua pilihan bisa setia dengan orang yang memilihnya. Saat ini yang aku rasakan adalah sakit yang tidak tertahankan, ketika masih ada rasa menyukai tanpa bisa mengungkapkan. Bukan aku pengecut, tapi masih ada rasa kecewa ketika segala perjuangan kamu sia-siakan.

Transparan, begitulah caramu menyuruhku pergi secara perlahan. Bukan aku yang menginginkan pergi, tapi keinginanmu untuk meninggalkan tanpa alasan. Kamu tidak bisa bertahan dengan pilihanmu, sebab itu jangan sandarkan lagi harapan semu itu di pundakku. Ketika rasa nyaman yang kamu tawarkan, aku takut mencintai sendirian.

Kemungkinan, aku tidak pernah kecewa atas tindakanmu. Aku hanya kecewa dengan harapan yang aku ciptakan sendiri terhadapmu. Sesekali kita perlu evaluasi diri, bukan saling menyalahkan atas perlakuan dan balasan satu sama lain. Karena apa yang dilihat mata bisa berbeda dengan apa yang dilihat dan dirasakan oleh hati.

Terlampau sayang dan terlanjur cinta adalah keegoisan yang aku lakukan meski balasan perih yang selalu kurasakan. Ketika perjuanganku terbilang percuma, apakah menyerah harus kuambil sebagai pilihan kedua? Lalu kepada siapa lagi aku menaruh harapan jika yang aku percayai selama ini terkadang mengecewakan?

Haruskah aku berhenti sejenak sekarang?
Atau, bolehkah aku memelukmu sejenak sebelum cinta dan harapanku kamu lepaskan?

Sebab, kamu menjadi definisi inti alasan aku mencintai meski tidak terbalaskan. Saat tatap mata kita bertemu, terasa getar dalam jiwaku. Mungkin saat itu aku akan merasakan indahnya mencintai. Aku yakin kamu adalah orang yang tepat untuk kumenangkan karena senyum simpulmu buatku terpana.

Dusta!

Ada sesuatu yang kini sulit aku percayai, ketika janji apapun yang akan terjadi kamu tidak akan pergi namun kenyataan yang ada buat aku sulit untuk berdiri.

Butuh waktu lama untukku membiasakan diri seperti sediakala, saat retakan hati belum sampai ke tahap patah. Hidupku akan baik saja meski telah menerima cobaan berat. Ketika aku tidak mendapatkanmu saat aku ingin, menjaga yang datang dan aku punya nanti mungkin lebih berarti. Yang pergi akan kembali, yang jauh akan mendekat, yang bermusuhan akan kembali akrab. Seperti itulah realita yang harus kita terima ketika harus bertemu kembali dengan masalalu atas kehendak Tuhan.


Jika terlalu dekat membuatmu tidak nyaman, maka izinkan aku menatapmu meski dari kejauhan.
Karena mencintaimu adalah cobaan paling istimewa yang diberikan oleh Tuhan.

---

Tangerang, 23 Oktober 2017
#13

Jumat, 13 Oktober 2017

Puisi - Aku dan Perandaianmu

Bayang Pemenang (Foto: Idris/Jurnalawas)

Aku dan Perandaianmu

Keluh waktu akan tangismu
Resah membelenggu dalam sukmamu
Payah kuasai, matikan akalmu
Enyah… berontak kuat tekad hatimu

Kelopak matamu diam bercerita
Juang keras terlukis di bola mata
Dalam membatin hitam mewarna
Sembabmu.. artikan kering air mata

Telingaku… terbiasa akan andaimu
Mataku… masuk tenggelam palung jiwamu
Mulutku… tak lelah merapal doa untukmu
Hatiku… rela jatuh dan hanyut arus sendumu

Kau anggap dirimu ringkih
Padamu… aku rela larut menyelami sedih
Kau tidak ingin menjadi beban
Aku yakin kau jadi yang terdepan

“Aku tidak tahu…”
Itu… kalimat bodoh darimu
“Aku takut kegagalan…”
Peryalah… aku takan meninggalkan

Sebab kau yang terbaik
Maka aku siap tercabik
Sebab kau yang terhebat
Maka aku rela terikat

Ikhlaslah…
Kebaikanmu akan berbuah
Nikmat-Nya akan merekah
Akhirmu… yang menanti sangatlah indah

Yakinlah pada diri
Kau lebih hebat dari ini
Yakinlah pada pilihan
Mimpimu akan jadi kenyataan

Kasihku…
Jangan takut, Tuhan lebih dekat dari nadimu...

---

Karya Idris Saripudin
Jakarta, 2 Oktober 2017